Antologi Puisi Lomba Baca Puisi
KASIDAH SUNYI 3
Acep Zamzam Noor
Aku letih
menjengkal kesamaranmu
Menyusuri
terowongan-terowongan panjang
Waktu
ternyata sebuah gurun pasir
Yang
menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga
tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara
erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu
hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih
memahami rahasiamu
Menghirup
kepulan pasir dan debu
Langkahku
telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan
batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu
terus membentangkan gurun demi gurun
Dari
keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari
hanya mengisyaratkan keagunganmu yang
jauh
BELAJAR MEMBACA
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri
Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakikau luka
Lukakukah kakikau
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikakukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Beri Daku Sumba
Taufiq Ismail
Di Uzbekistan, ada
padang terbuka dan berdebu aneh, aku jadi ingat pada umbu
Rinduku
pada sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Dimana
matahari membusur api di atas sana
Rinduku
pada sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana
peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah
rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng
genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah
di pesisir, matahari kan terbit dari laut
Dan
angin zat asam panas mulai dikipas dari sana
Beri
daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri
daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor kuda
Beri
daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri
daku tanah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya sumba
Rinduku
pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang
turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara
langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan
bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku
pada sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di
mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku
pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang
turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Caya Merdeka
Kepada tanah airku
Usman Ismail
Sekali
aku terbangun dalam cekrammu
Dari
dalam jurang yang gelap-hitam
Kau
renggut aku hingga akar-jiwaku
Kau
angkat aku membumbung
Menatap
wajah Suria Merdeka....
Buta
aku disorot nikmat sinar gemilang
Diseret
hanyut gelora arusmu
Kemudian
kau lemparkan daku
Ke
pantai tindakan nyata!
Telah
kau remuk aku
Bersatu-padu
dengan sinarmu
Tak
mungkin aku’kan surut lagi
Sampai
airmu lipur cayamu dalam matiku ....
Aku
mengembus angin
Dari
tepi kuburku ke tiap penjuru
Membawa
nikmat Caya Merdeka ....
Dan
sujudlah aku
Di
hadirat Tuhanku menunggu
Putusan
akhirku di dunia baka!
1954
Cipasung
Acep zamzam noor
(1960 )
Di
lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti
rambutku padi-pagi semakin merundukan diri
Dengan
ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku
iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit
yang menguji ibadahku menetesan cahaya redup
Dan
suaraku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu
Aku
semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada
lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala
tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi
pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah
kepadaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini
hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
Hari
esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka
ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah
jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia
telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa
ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas
sajadah lumpur aku tersungkur dan berkubur
1989
DI BAWAH MATAHARI
Ratna Ayu Budhiarti
Mari duduk di sini, di sebelahku,
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-
Mari dengar
kersik angin di daun cemara
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang
Ada sehamparan rumah dan gedung tinggi
menjulang di bawah sana
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa
Saat langit
terang, di lapangan rumput yang lengang
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.
Aku mencintai
pagi, ucapmu dekat di telingaku
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
2013
DI DENGUS-DENGUS MALAM
Saeful Badar
Di dengus-dengus
malam di remang-remang syahwat bulan
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur
Beri daku segar musim baru, Tuhanku
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu
Di dengus-dengus
malam di syahwat-syahwat bulan
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu
Di jejak-jejak
bulan di bayang-bayang gulita malam
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
2007
Diponegoro
Chairil anwar
Di
masa pembangunan ini
Tuan
hidup kembali
Dan
bara kagum menjadi api
Di
depan sekali tuan menanti
Tak
gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang
di kanan, keris di kiri
Berselubung
semangat yang tak bisa mati
Maju
Ini
barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan
tanda menyerbu
Sekali
berarti
Sudah
itu mati.
Maju
Bagimu
negeri
Menyediakan
api
Punah
di atas menghamba
Binasa
di atas ditanda
Sungguhpun
dalam ajal baru tercapai
Jika
hidup harus merasai.
Maju
Serbu
Serang
Terjang
1978
Do’a di Medan Laga
Subagio Sastrowardojo
Berilah
kekuatan sekeras baja
Untuk
menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah
kesabaran seluas angkasa
Untuk
mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Beri
kemauan sekuat garuda
Untuk
melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Beri
perasaan selembut sutera
Untuk
menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini
Daerah
perbatasan, 1970
Ia Bernyanyi dalam Hujan
w.s. Rendra
ia
bernyanyi di malam hujan
dan
tak seorang tahu
dari
mana datangnya.
Tak
seorang berani nengok
Begitu
gaib datangnya.
Dimuntahkan
dari angin.
Mengembung
dari air gelembung.
Ia
bernyanyi di malam hujan
Entah
dari mana datangnya.
Burung
lepas ditangiskan.
Tangis
domba di perut lembah.
Dan
air jeruk menetesi
Luka
daging baru terbuka.
Empedu!
Empedu yang pecah!
Jarum
terhanyut pada darah.
Dan
di mulut terkulum
Rasa
buah-buah logam.
Ia
bernyanyi di malam hujan
Penyapnya
perlahan
Terapung
bagai gabus
Tergantung
di sunyi yang bertanya.
Tak
seorang tahu datangnya
Mayat
kere dijumpa pagi hari
Perempuan
tua dan buta.
Ia
bernyanyi di malam hujan
Entah
datang dari mana datangnya.
Telah
lebih dulu ia tahu
Tentang
kepergian dirinya.
LUKISAN WAKTU
Amang S Hidayat
Wahai engkau yang dipersunting matahari
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya
Wahai engkau pertapa yang memuja
perhiasan kasat mata
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening
Kami yang senantiasa duduk
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu
Hari ini wajah
kita mengusam
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
1999
RAKSASA
Putu Wijaya
Di dalam mimpiku ada raksasa
Taringnya sebesar pohon kelapa
Kepalanya gundul sekeras baja
Dari mulutnya
menyembur kata-kata jahat
Hai anak kecil kamu tak usah rajin
Buang buku ayo main di jalanan
Jangan dengar kata orang tua
Ikut ogut berpesta pora
Tetapi aku bukan anak ingusan
Tubuhku masih kecil tapi hatiku
besar
Ibu sudah melatihku jadi kuat
Dan papa ku tak senang aku bodoh
Guruku di sekolah selalu bilang
Hati-hati dengan orang jahat
Mulutnya manis tetapi akibatnya
berat
Raksasa itu marah dan merengut
Karena aku tak sudi tekuk lutut
Dari mulutnya keluar api panas
Tangannya mau mencekik ganas
Hai anak berani, katanya marah
Kalau kau bandel
awas ku mamah
Lau menganga
taringnya berkilat
Lalu melompat mau
menyikat
Aku tenang tapi waspada
Tidak teriak takut
pun bukan
Sambil berdoa aku bertindak
Keluarkan raportku serentak
Angka delapan,sembilan, dan
sepuluh
Meloncat melilit raksasa
Dalam sekejap mata menyerang
Ampun,jerit raksasa ketakutan
Jangan ikat aku dengan angka
Aku berjanji tak lagi nakal
Mengganggu anak yang rajin belajar
Dalam tidurku muncul raksasa
Tetapi ia sudah kapok
Sekarang setia menjaga tidurku
Sambil
belajar membaca
Rakyat
Hartojo Andangdjaja
Rakyat
ialah kita
Jutaan
tangan yang mengayun dalam kerja
Di
bumi di tanah tercinta
Jutaan
tangan mengayun bersama
Membuka
hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
Mengepulkan
asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
Menaikan
layar menebarkan jala
Meraba
kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat
ialah tangan yang bekerja
Rakyat
ialah kita
Otak
yang nampak sepanjang jemaring angka-angka
Yang
selalu berkata dua adalah dua
Yang
bergerak di simpangsiur garis niaga
Rakyat
ialah otak yang menulis angka-angka.
Rakyat
ialah kita
Beragam
suara di langit tanah tercinta
Suara
bangsi di rumah berjenjang bertangga
Suara
kecapi di pegunungan jelita
Suara
bonang mengembang di pendapa
Suara
kecak di muka pura
Suara
tifa di hutan kebun pala
Rakyat
ialah suara beraneka.
Rakyat
ialah kita
Puisi
kaya makna di wajah semesta
Di
darat
Hari
yang berkeringat
Awan
menyimpan topan
Rakyat
ialah puisi di wajah semesta
Rakyat
ialah kita
Darah
di tubuh bangsa
Debar
sepanjang masa
Pasaman, Oktober
1961
Salju
Wing kardjo
(1937-2002)
Ke
manakah pergi
Mencari matahari
Ketika salju turun
Pepohonan
kehilangan daun
Ke
manakah jalan
Mencari lindungan
Ketika tubuh kuyup
Dan pintu
tertutup
Ke
manakah lari
Mencari api
Ketika bara hati
Padam tak
berarti
Kemanakah
pergi
Selain
mencuci diri
1967