Kamis, 03 November 2016

Antologi Puisi Lomba Baca Puisi

KASIDAH SUNYI 3
Acep Zamzam Noor

Aku letih menjengkal kesamaranmu
Menyusuri terowongan-terowongan panjang
Waktu ternyata sebuah gurun pasir
Yang menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih memahami rahasiamu
Menghirup kepulan pasir dan debu
Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun
Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang
jauh




BELAJAR MEMBACA
Sutardji Calzoum Bachri

Kakiku luka
Luka kakiku
Kakikau lukakah
Lukakah kakikau
Kalau kakikau luka
Lukakukah kakikau
Kakiku luka
Lukakaukah kakiku
Kalau lukaku lukakau
Kakiku kakikaukah
Kakikakukah kakiku
Kakiku luka kaku
Kalau lukaku lukakau
Lukakakukakiku lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah lukakakukakiku



Beri Daku Sumba
Taufiq Ismail

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu aneh, aku jadi ingat pada umbu

Rinduku pada sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Dimana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana

Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa-nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku tanah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya sumba

Rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh

Rinduku pada sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.



Caya Merdeka
Kepada tanah airku
Usman Ismail

Sekali aku terbangun dalam cekrammu
Dari dalam jurang yang gelap-hitam
Kau renggut aku hingga akar-jiwaku
Kau angkat aku membumbung
Menatap wajah Suria Merdeka....

Buta aku disorot nikmat sinar gemilang
Diseret hanyut gelora arusmu
Kemudian kau lemparkan daku
Ke pantai tindakan nyata!

Telah kau remuk aku
Bersatu-padu dengan sinarmu
Tak mungkin aku’kan surut lagi
Sampai airmu lipur cayamu dalam matiku ....

Aku mengembus angin
Dari tepi kuburku ke tiap penjuru
Membawa nikmat Caya Merdeka ....

Dan sujudlah aku
Di hadirat Tuhanku menunggu
Putusan akhirku di dunia baka!

1954



Cipasung
Acep zamzam noor
(1960  )

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-pagi semakin merundukan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku menetesan cahaya redup
Dan suaraku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah kepadaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan berkubur

1989





DI BAWAH MATAHARI
Ratna Ayu Budhiarti

Mari duduk di sini, di sebelahku,
Kita bercerita tentang pagi yang cerah
Dan udara segar di pegunungan
Juga tentang dua pesawat yang berpapasan di udara
-Barangkali mereka mengawasi kita-

Mari dengar kersik angin di daun cemara
Bunga rumput yang menjulang
Menari mengiringi irama cinta yang riang

Ada sehamparan rumah dan gedung tinggi menjulang di bawah sana
Di kaki bukit dan lembah yang tadi kita lewati
Entah di tikungan ke berapa deru kata-kata menjadi deraian tawa

Saat langit terang, di lapangan rumput yang lengang
Dua pasang mata mengisyaratkan penyatuan.

Aku mencintai pagi, ucapmu dekat di telingaku
Saat semua suara tak lagi ada,
Selain kesiur angin dan nafas kita
Dan semesta yang sedang bekerja.
2013




DI DENGUS-DENGUS MALAM
Saeful Badar

Di dengus-dengus malam di remang-remang syahwat bulan
Umurku melebur dalam kubur peradaban yang durhaka
Di geram-geram rindu di pekat-pekat birahi dendam
Cintaku lamur di antara geliat ingkar dan tafakur

Beri daku segar musim baru, Tuhanku
Sebelum kuikhlaskan kekalahan demi kekalahanku
Andai tak kuat lagi jasadku menyangga nafsu
Maka beri daku tidur panjang dalam khalwat angin dan batu-batu

Di dengus-dengus malam di syahwat-syahwat bulan
Rohku mengembara mencari jejak-jejak waktu
Di batu-batu bengal sisa-sisa umurku berabad lalu

Di jejak-jejak bulan di bayang-bayang gulita malam
Jasadku melayang di kehampaan musim tanpa cinta
Maka rohku pun terhuyung seperti adam terusir dari cinta hawa
2007




Diponegoro
Chairil anwar

Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati.

Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditanda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju
Serbu
Serang
Terjang

1978



Do’a di Medan Laga
Subagio Sastrowardojo

Berilah kekuatan sekeras baja
Untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani zaman ini
Berilah kesabaran seluas angkasa
Untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini
Beri kemauan sekuat garuda
Untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini
Beri perasaan selembut sutera
Untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini

Daerah perbatasan, 1970



Ia Bernyanyi dalam Hujan
w.s. Rendra

ia bernyanyi di malam hujan
dan tak seorang tahu
dari mana datangnya.
Tak seorang berani nengok
Begitu gaib datangnya.
Dimuntahkan dari angin.
Mengembung dari air gelembung.
Ia bernyanyi di malam hujan
Entah dari mana datangnya.
Burung lepas ditangiskan.
Tangis domba di perut lembah.
Dan air jeruk menetesi
Luka daging baru terbuka.
Empedu! Empedu yang pecah!
Jarum terhanyut pada darah.
Dan di mulut terkulum
Rasa buah-buah logam.
Ia bernyanyi di malam hujan
Penyapnya perlahan
Terapung bagai gabus
Tergantung di sunyi yang bertanya.
Tak seorang tahu datangnya
Mayat kere dijumpa pagi hari
Perempuan tua dan buta.
Ia bernyanyi di malam hujan
Entah datang dari mana datangnya.
Telah lebih dulu ia tahu
Tentang kepergian dirinya.



LUKISAN WAKTU
Amang S Hidayat

Wahai engkau yang dipersunting matahari
Setelah cadar kabutmu memudar
Bayangan pelangi menjadi cermin gerimis
Yang membias ke tangga langit
Di mana rembulan memujamu ketika sunyi memeluknya

Wahai engkau pertapa yang memuja perhiasan kasat mata
Akankah kaudengar rintih hujan airmata bumi
Seriang senja mewartakan ramah rangkum cuaca
Atau raung gemuruh guntur menghardik tangis
Hingga menjelma penjara
Bagi gemericik bening di belantara hening

Kami yang senantiasa duduk
Dijilat tajam matamu
Hangus ditelan kemarahan waktu
Ketika kausulap kegetiran itu
Menjadi perisai kehancuran tradisi
Laksana mengusir debu di mahkota singgasanamu

Hari ini wajah kita mengusam
Aib menutup anggun raut wajahmu
Dan inilah produk yang dibiaskan kehancuran itu
Barisan para petualang
Berebut puing-puing mimpi tanah merdeka
1999


RAKSASA
Putu Wijaya

Di dalam mimpiku ada raksasa
Taringnya sebesar pohon kelapa
Kepalanya gundul sekeras baja
Dari mulutnya menyembur kata-kata jahat
Hai anak kecil kamu tak usah rajin
Buang buku ayo main di jalanan
Jangan dengar kata orang tua
Ikut ogut berpesta pora
Tetapi aku bukan anak ingusan
Tubuhku masih kecil tapi hatiku besar
Ibu sudah melatihku jadi kuat
Dan papa ku tak senang aku bodoh
Guruku di sekolah selalu bilang
Hati-hati dengan orang jahat
Mulutnya manis tetapi akibatnya berat
Raksasa itu marah dan merengut
Karena aku tak sudi tekuk lutut
Dari mulutnya keluar api panas
Tangannya mau mencekik ganas
Hai anak berani, katanya marah
Kalau kau bandel awas  ku mamah
Lau menganga taringnya berkilat
Lalu melompat mau menyikat
Aku tenang tapi waspada
Tidak teriak takut pun bukan
Sambil berdoa aku bertindak
Keluarkan raportku serentak
Angka delapan,sembilan, dan sepuluh
Meloncat melilit raksasa
Dalam sekejap mata menyerang
Ampun,jerit raksasa ketakutan
Jangan ikat aku dengan angka
Aku berjanji tak lagi nakal
Mengganggu anak yang rajin belajar
Dalam tidurku muncul raksasa
Tetapi ia sudah kapok
Sekarang setia menjaga tidurku
Sambil belajar membaca



Rakyat
Hartojo Andangdjaja

Rakyat ialah kita
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
Di bumi di tanah tercinta
Jutaan tangan mengayun bersama
Membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
Mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
Menaikan layar menebarkan jala
Meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
Otak yang nampak sepanjang jemaring angka-angka
Yang selalu berkata dua adalah dua
Yang bergerak di simpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka.

Rakyat ialah kita
Beragam suara di langit tanah tercinta
Suara bangsi di rumah berjenjang bertangga

Suara kecapi di pegunungan jelita
Suara bonang mengembang di pendapa
Suara kecak di muka pura
Suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka.

Rakyat ialah kita
Puisi kaya makna di wajah semesta
Di darat
Hari yang berkeringat
Awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
Darah di tubuh bangsa
Debar sepanjang masa

Pasaman, Oktober 1961



Salju
Wing kardjo
(1937-2002)


Ke manakah pergi
            Mencari matahari
                        Ketika salju turun
                                    Pepohonan kehilangan daun
Ke manakah jalan
            Mencari lindungan
                        Ketika tubuh kuyup
                                    Dan pintu tertutup
Ke manakah lari
            Mencari api
                        Ketika bara hati
                                    Padam tak berarti
Kemanakah pergi
Selain mencuci diri

1967